PERINGKAT KINERJA OPERATOR
PERINGKAT KINERJA OPERATOR
2.1.
Performance Rating
Performance Rating Atau Peringkat Kinerja Operator (pko)
adalah aktifitas untuk menilai dan mengevaluasi kecepatan operator untuk
menyelesaikan produknya. Tujuan dari performance
rating adalah untuk menormalkan waktu kerja yang disebabkan oleh
ketidakwajaran. Perancangan sistem kerja menghasilkan beberapa alternatif
sehingga harus dipilih alternatif terbaik. Pemilihan alternatif rancangan
sistem kerja ini harus berlandaskan 4 kriteria utama, yaitu: kriteria waktu,
kriteria fisik, kriteria psikis,dan kriteria sosiologis. Berdasarkan ke-4
kriteria tersebut suatu sistem kerja dipandang terbaik jika memberikan waktu
penyelesaian pekerjaan dengan wajar dan normal serta menggunakan tenaga fisik
paling ringan, sehingga memberi dampak psikis dan sosiologis paling rendah (Sutalaksana,1979).
2.2 Pengukuran Kerja
Penelitian kerja dan analisa metode kerja pada
dasarnya akan memusatkan perhatiannya pada bagaimana suatu macam pekerjaan akan
diselesaikan. Suatu pekerjaan akan dikatakan diselesaikan secara efisien
apabila waktu penyelesaiannya berlangsung paling singakat. Pengukuran waktu
kerja ini akan berhubungan dengan usaha-usaha untuk menetapkan waktu baku yang
digunakan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Secara singkat pengukuran kerja
adalah metode penetapan keseimbangan antara jalur manusia yang dikonstribusikan
dengan unit output yang dihasilkan
(Sritomo, 1992).
Pengukuran
waktu pada dasarnya merupakan suatu usaha untuk menentukan lamanya waktu kerja.
Untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang spesifik dibutuhkan oleh seorang operator normal
(sudah terlatih). Bekerja dalam taraf yang wajar dalam suatu sistem kerja yang
terbaik (baku) pada saat itu. Secara umum. Pengukuran waktu (Time Study) ialah
suatu usaha untuk menentukan lama kerja yang dibutuhkan seorang operator
(terlatih dan qualifed) dalam
menyelesaikan suatu pekerjaan yang spesifik pada tingkat kecepatan kerja yang
normal dalam lingkungan kerja yang terbaik pada saat itu.Teknik pengukuran
waktu dibagi menjadi dua yaitu (ainul@staff.gunadarma.ac.id,2014):
1. Secara langsung
a. Pengukuran waktu dengan jam henti (Stopwatch time study).
b. Sampling pekerjaan (Work Sampling).
2. Secara
tidak langsung
a.
Data waktu baku (Standard Data).
b.
Data waktu gerakan (Predetermined time system).
2.3 Langkah-langkah sebelum melakukan pengukuran
Melakukan suatu pengukuranterdapat
langkah-langkah yang digunakan yang bertujuan
untuk mendapatkan hasil yang baik dan dapat dipertanggung jawabkan maka
tidak cukup sekedar melakukan beberapa kali pengukuran dengan menggunakan jam
henti atau jam biasa. Banyak faktor yang harus diperhatikan agar akhirnya dapat
diperoleh waktu yang pantas untuk pekerjaaan yang bersangkutan seperti yang
berhubungan dengan kondisi kerja, cara pengukuran, jumlah pengukuran dan
lain-lainnya. Di bawah ini adalah sebagian langkah yang perlu diikuti agar
maksud di atas dapat tercapai (Sutalaksana, 1979).
a.
Penetapan Tujuan Pengukuran.
Adalah untuk apa hasil pengukuran digunakan, berapa tingkat ketelitian
dan tingkat keyakinan yang diinginkan dari hasil pengukuran.
b.
Melakukan Penelitian Pendahuluan.
Adalah untuk mempelajari kondisi kerja dan cara kerja sehingga diperoleh
usaha perbaikan, membakukan secara tertulis sistem kerja yang dianggap baik,
dan operator memerlukan pegangan baku .
c.
Memilih Operator.
Adalah agar operator dapat
berkemampuan normal dan dapat diajak bekerja sama.
d.
Melatih Operator.
Dapat ditunjukkan dengan kurva (gambar 2.2) dibawah ini pengembangan
penguasaan pekerjaan oleh operator sejak mulai mengenalnya sampai terbiasa.
Tujuannya adalah untuk menjelaskan catatan tentang tata cara kerja yang
dibakukan, memungkinkan melakukan penyesuaian bagi setiap elemen. Memudahkan
mengamati terjadinya elemen yang tidak baku yang mungkin dilakukan pekerja, dan
mengembangkan data waktu baku
standar setiap tempat kerja yang bersangkutan.
f.
Menyiapkan Alat-Alat Pengukuran
Alat-alat yang
digunakan antara lain: jam henti (stopwatch),
lembar pengamatan, alat tulis, papan pengamatan.
2.4 Penyesuaian Waktu dengan Peringkat Kerja
Penelitian
kerja dan analisa metode kerja pada dasarnya akan memusatkan perhatian
bagaimana suatu macam kerja akan terselesaikan.Pengaplikasikan prinsip dan
pengaturan cara kerja dalam system kerja yang dianggap memberi hasil yang
efektif dan efisien. Pekerjaan akan dikatakan selesai secara
efisien apabila waktu penyelesaiannya berlangsung singkat. Untuk mengetahui
seberapa cepat seorang dengan metode yang telah ditetapkan menyelesaikan
pekerjaanya diperlukan suatu aktifitas pengukuran yang disebut dengan
pengukuran kerja.
Secara
singkat pengukuran kerja adalah metode penetapan keseimbangan antara jalur
manusia yang dikontribusikan dengan unit output
yang dihasilkan. Umumnya
dalam pelaksanaan pengukuran kerja dilakukan terlebih dahulu pembagian oprasi
menjadi elemen-elemen kerja dan mengukur masing-masing elemen kerja tersebut (Sutalaksana,
1979).
Pemecahan operasi menjadi elemen-elemen kerja
perlu dilakukan dengan alasan- alasan sebagai berikut :
1. Untuk menggambarkan suatu operasi yaitu
dengan membagi kedalam elemen-elemen kerja yang lebih utama sehingga dapat
diukur secara terpisah.
2. Besarnya waktu baku bisa ditetapkan
berdasarkan elemen-elemen pekerjaan yang ada.
3. Dapat menganalisa waktu baku yang
berlebihan untuk tiap-tiap elemen yang ada.
4. Operator akan bekerja pada tempo yang
berbeda pada setiap siklus kerja berlangsung.
Pelaksanaan kerja, kegiatan evaluasi
kecepatan atau tempo kerja operator yang merupakan bagian yang paling penting
dan mungkin paling sulit dalam pelaksanaan pengukuran kerja operator pada saat
kegiatan berlangsung. Kecepatan, usaha, tempo atau pun kinerja kerja semuanya
akan memberikan kecepatan gerakan operator pada saat bekerja. Aktivitas untuk
menilai atau mengevaluasi kecepatan kerja operator dikenal sebagai peringkat
kerja.
Melakukan peringkat kinerja ini diharapkan
waktu kerja yang diukur dapat dinormalkan kembali. Ketidaknormalan dari waktu
kerja diakibatkan kerja operator yang kurang wajar atau bekerja dalam tempo
yang tidak semestinya. Penormalan waktu kerja yang diperoleh dari hasil
pengamatan dilakukan dengan mengadakan penyesuaian menggunakan tabel seperti
berikut:
Tabel 2.1 Tabel
Penyesuaian
Nilai Kerja
|
Keterangan
|
P > 1 atau P > 100%
|
Operator dinyatakan bekerja terlalu cepat
|
P < 1 atau P < 100%
|
Operator dinyatakan bekerja terlalu lambat
|
P = 1 atau P = 100%
|
Operator dinyatakan bekerja secara normal atau
wajar
|
2.5 Peringkat Kerja dengan
Metoda Peringkat Kecepatan
Praktek kemampuan kerja, metode penetapan peringkat
kinerja kerja operator didasarkan pada suatu faktor tunggal yaitu kecepatan
operator atau tempo operator. Sistem ini dikenal sebagai peringkat kinerja atau
peringkat kecepatan yang umumnya dinyatakan dalam persen atau angka desimal,
dimana kinerja tidak normal sama dengan 100% atau 0,01. Penetapan besar kecilnya angka akan dilakukan oleh
analisis studi waktu sendiri, sehingga untuk itu dibutuhkan pengalaman yang
cukup didalam mengevaluasi kerja yang ditunjukan operator.
Pelatihan
analisis studi waktu agar bisa merating secara tepat, manggunakan Time Study rating film (TSRF) yang
diproduksi TSRF menggambarkan suasana yang ada dikantor, laboratorium operasi
dan manufaktur. Dalam film ini digambarkan situasi-situasi kerja dari operator
yang mengerjakan elemen kerja yang sama dengan berbagai kecepatan kerja yang
berlainan. Analisa studi waktu akan dilatih untuk mengamati situasi kerja ini
kemudian diharapkan memberikan penilaian kinerja secara langsung dari operator
yang dilihat.
Apabila
penyimpangan penilaian yang dibuat tidak lebih dari 5% dari yang sebenarnya
maka bisa diartikan bahwa analis studi waktu tersebut dapat mampu melaksanakan
penilaian kinerja secara langsung.
Faktor
peringkat sebenarnya pada dasarnya diaplikasikan untuk menormalkan waktu kerja
yang diperoleh dari pengukuran kerja akibat tempo atau kecepatan operator yang
berubah-ubah. Nilai waktu yang diperoleh disini masih belum kita tetapkan
sebagai waktu baku untuk menyelesaikan suatu operasi kerja karena disini faktor
yang berkaitan dengan kelonggaran waktu agar operator bisa bekerja denga baik
masih belum diperhitungkan.
2.6 Melakukan Perhitungan Waktu
Baku
Pengukuran-pengukuran telah selesai, yaitu
semua data yang didapat memiliki keseragaman yang dikehendaki yang diinginkan,
maka selesailah kegiatan pengukuran waktu. Langkah selanjutnya adalah mengolah
data tersebut sehingga memberikan waktu baku. Cara mendapatkan waktu baku dari
data yang terkumpul itu adalah sebagai berikut (Sritomo,1992):
a. Hitung waktu siklus rata-rata.
Waktu siklus merupakan jumlah
tiap-tiap elemen job.
Xi/N
Dimana :
Xi = Jumlah waktu penyelesaian yang teramati
N = Jumlah pengamatan yang dilakukan
b. Hitung Waktu Normal
Waktu normal merupakan
waktu penyelesaian pekerjaan yang diselesaikan oleh pekerja dalam kondisi wajar
dan berkemampuan kerja rata-rata.
|
Dimana :
Ws = Waktu siklus
P = Faktor penyesuaian
Faktor penyesuaian (P) ini diperhitungkan
jika pengukur berpendapat bahwa operator bekerja dengan kecepatan tidak wajar
sehingga hasil perhitungan waktu perlu disesuaikan atau dinormalkan dulu untuk
mendapatkan waktu siklus rata-rata yang wajar jika pekerja bekerja dengan wajar
maka faktor penyesuaiannya P = 1, artinya waktu siklus rata-rata sudah normal.
Jika bekerja terlalu lambat maka untuk menormalkan pengukur harus memberi harga
P1 dan sebaliknya P1, jika dianggap bekerja terlalu cepat.
c. Hitung Waktu Baku
Waktu baku merupakan waktu
yang dibutuhkan secara wajar oleh pekerja normal untuk menyelesaikan pekerjaan
yang dijalankan dalam sistem kerja terbaik pada waktu tersebut (ainul@staff.gunadarma.ac.id,2014).
|
Dimana :
Wn =
Waktu normal
1 = Kelonggaran
(allowance) yang dihasilkan pekerja untuk
ssssssss menyelesaikan pekerjaannya disamping waktu normal.
Kelonggaran ini diberikan untuk hal-hal
seperti kebutuhan pribadi, menghilangkan rasa fatique
dan hambatan-hambatan yang tak dapat dihindarkan oleh pekerja. Umumnya
kelonggaran dinyatakan dalam persen dari waktu normal.
2.7 Penyesuaian
Penyesuaian adalah
kegiatan evaluasi kecepatan dan performance
kerja operator pada saat pengukuran kerja berlangsung merupakan bagian yang
paling sulit dan penting dalam pengukuran kerja. Cara-cara menentukan faktor
penyesuaian sebagai berikut:
a.
Persentase
Dalam cara ini besar faktor penyesuaian
sepenuhnya ditentukan oleh pengukur melalui pengamatannya selama melakukan
pengukuran. Jadi sesuai dengan pengukurannya pengamat menentukan harga p yang
menurut pendapatnya menghasilkan waktu normal bila harga ini dikalikan dengan
waktu siklus.
b.
Shumard
Shumard memberikan patokan-patokan
penilaian melalui kelas-kelas performance
kerja
dimana setiap kelas mempunyai nilai masing-masing. Disini pengukur diberi
patokan untuk menilai performance kerja operator menurut kelas-kelas Superfast,Fast+,Fast, Fast-, Excellent dan
seterusnya (ainul@staff.gunadarma.ac.id,2014) .
Tabel 2.2 Penyesuaian menurut cara Shumard
Kelas
|
Performance
|
Kelas
|
Performance
|
Superfast
|
100
|
Good –
|
65
|
Fast +
|
95
|
Normal
|
60
|
Fast
|
90
|
Fair +
|
55
|
Fast –
|
85
|
Fair
|
50
|
Excellent
|
80
|
Fair –
|
45
|
Good
|
75
|
Poor
|
40
|
Good +
|
70
|
|
|
c.
Westinghouse
Westinghouse mengerahkan penilaian pada 4
faktor yang dianggap menentukan kewajaran atau ketidakwajaran dalam bekerja
yaitu:
a.. Keterampilan
(Skill) adalah
sebagai kemampuan mengikuti cara kerja yang ditetapkan.
b. Usaha (Effort) adalah
kesungguhan yang ditunjukkan atau diberikan operator ketika melakukan
pekerjaannya.
c. Kondisi
kerja (Condition) adalah kondisi fisik lingkungan seperti
keadaan pencahayaan, temperatur dan kebisingan ruangan.
d. Konsistensi (Consistency) adalah waktu penyelesaian yang selalu tetap
dari satu waktu ke waktu lain.
Westinghouse mengerahkan peilaian terhadap 4 faktor ynag dianggap
menentukan kewajaran atau ketidakwajaran dalam kerja dalam tiap kelas dari
faktor yang dimiliki operator. Nilai-nilai yang diberikan bagi setiap
kelas dari faktor dapat dilihat dibawah ini:
Tabel 2.3 Penyesuaian menurut Westinghause
Faktor
|
Kelas
|
Lambang
|
Penyesuaian
|
|
Superfast
|
A1
|
+
0,15
|
Keterampilan
|
|
A2
|
+
0,13
|
|
Excelent
|
B1
|
+
0,11
|
|
|
B2
|
+
0,08
|
Good
|
C1
|
+
0,06
|
|
|
C2
|
+
0,03
|
|
Average
|
D
|
0,00
|
|
Fair
|
E1
|
-
0,05
|
|
|
E2
|
-
0,10
|
|
Poor
|
F1
|
-
0,16
|
|
|
F2
|
-
0,22
|
|
Usaha
|
Excessive
|
A1
|
+
0,13
|
|
A2
|
+
0,12
|
|
Excellent
|
B1
|
+
0,10
|
|
|
B2
|
+
0,08
|
|
|
Good
|
C1
|
+
0,05
|
|
|
C2
|
+
0,02
|
Average
|
D
|
0,00
|
|
Fair
|
E1
|
-
0,04
|
Tabel 2.3 Penyesuaian menurut Westinghause (lanjutan)
Faktor
|
Kelas
|
Lambang
|
Penyesuaian
|
|
|
Fair
|
E2
|
-
0,08
|
|
|
Poor
|
F1
|
-
0,12
|
|
|
|
F2
|
-
0,17
|
|
|
Ideal
|
A
|
+
0,06
|
|
|
Excellent
|
B
|
+
0,04
|
|
Kondisi
Kerja
|
Good
|
C
|
+
0,02
|
|
|
Average
|
D
|
0,00
|
|
Fair
|
E
|
-
0,03
|
||
Poor
|
F
|
-
0,07
|
||
|
Ideal
|
A
|
+
0,04
|
|
|
Excellent
|
B
|
+
0,03
|
|
Konsistensi
|
Good
|
C
|
+
0,01
|
|
|
Average
|
D
|
0,00
|
|
|
Fair
|
E
|
-
0,02
|
|
|
Poor
|
F
|
-
0,04
|
|
d.
Cara Objektif
Cara ini memperhatikan 2 faktor yaitu kecepatan kerja dan
tingkat kesulitan pekerjaan. Kecepatan kerja adalah kecepatan dalam melakukan
pekerjaan dalam pengertian biasa. Untuk kesulitan kerja disediakan tabel yang
menunjukkan berbagai kesulitan kerja.
e.
Cara Bedaux dan sintesa
Waktu penyelesaian
setiap elemen gerakan dibandingkan dengan harga-harga yang diperoleh dari
tabel-tabel data-data waktu gerakan untuk kemudian dihitung harga rata-ratanya.
f.
Synthetic Rating
Synthetic rating adalah
metode untuk mengevaluasi tempo kerja operator berdasarkan nilai waktu yang telah
ditetapkan terlebih dahulu. Prosedur yang dilakukan dengan melaksanakan
pengukuran kerja seperti biasanya dan kemudian membandingkan waktu yang diukur
dengan waktu penyelesaian elemen kerja yang sebelumnya sudah diketahui data
waktunya
2.8 Kelonggaran
Praktek
didalamnya banyak terjadi penentuan waktu baku dilakukan hanya dengan
menjalankan beberapa kali pengukuran dan perhitungan rata-ratanya. Selain data
yang seragam, jumlah pengukuran yang cukup dan penyusun satu hal lain yang
kerap kali terlupakan adalah menambah kelonggaran atas waktu normal yang telah
didapatkan.
Kelonggaran
diberikan untuk tiga hal, yaitu untuk kebutuhan pribadi, menghilangkan rasa fatique dan hambatan-hambatan yang tidak
dapat dihindarkan. Ketiganya ini merupakan hal-hal yang secara nyata dibutuhkan
oleh pekerja dan yang selama pengukuran tidak diamati, diukur, dicatat, ataupun
dihitung. Karenanya sesuai pengukuran dan setelah mendapatkan waktu normal,
kelonggaran perlu ditambahkan (Sutalaksana,2005).
1. Kelonggaran untuk kebutuhan pribadi
Termasuk
dalam kebutuhan pribadi disini adalah hal-hal seperti minum sekedarnya untuk
menghilangkan rasa haus, kekamar kecil, bercakap-cakap dengan teman sekerja
untuk menghilangkan ketegangan ataupun kejemuan dalam kerja.
Kebutuhan-kebutuhan
ini jelas terlihat sebagai sesuatu yang mutlak tidak bisa misalnya, seorang
diharuskan bekerja dengan rasa dahaga atau melarang pekerja untuk sama sekali
tidak bercakap-cakap sepanjang jam-jam kerja. Larangan demikian tidak saja
merugikan pekerja (karena merupakan tuntutan psikologis dan fisiologis yang
wajar) tetapi juga merugikan perusahaan karena dengan kondisi demikian pekerja
tidak akan dapat bekerja dengan baik bahkan hampir dapat dipastikan
produktifitasnya menurun Sutalaksana,2005).
Besarnya
kelonggaran yang diberikan untuk kebutuhan pribadi seperti itu berbeda-beda
antara satu pekerja dan pekerja lainnya karena setiap pekerja memiliki
karakteristik sendiri-sendiri dengan “tuntutan” yang berbeda-beda. Peneliti
yang khusus perlu dilakukan untuk
menentukan besarnya kelonggaran ini secara tepat seperti dengan sampling
pekerjaan ataupun secara fisikologi. Berdasarkan penelitian ternyata besarnya
kelonggaran ini bagi pekerja pria berbeda dengan pekerja wanita. Misalnya untuk
pekerjaan-pekerjaan ringan pada kondisi-kondisi normal pria memerlukan 2 - 2.5
dan wanita 5% (persentase ini adalah dari waktu normal)(Sutalaksana,2005).
2. Kelonggaran untuk menghilangkan rasa fatique
Rasa
fatique tercermin antara lain dari
menurunnya hasil produksi baik jumlah maupun kualitas. Karenanya salah satu cara untuk menentukan
besarnya kelonggran ini adalah dengan melakukan pengamatan sepanjang hari kerja
dan mencatat disaat-saat dimana hasil produksi menurun. Tetapi masalahnya
adalah kesulitan dalam menentikan pada saat-saat mana menurutnya hasil produksi
disebabkan oleh timbulnya rasa fatique
karena masih banyak kemungkinan lain yang dapat menyebabkannya
(Sutalaksana,2005).
Rasa fatique telah datang dan pekerja harus bekerja untuk
menghasilkan performace normalnya, maka usaha yang dikeluarkan pekerja lebih
besar dari normal dan ini akan menambah rasa fatique. Bila hal ini berlangsung terus pada akhirnya akan terjadi fatique total yaitu jika anggota badan
yang bersangkutan sudah tidak dapat melakukan gerakan kerja sama sekali
walaupun sudah dikehendaki. Hal demikian jarang terjadi karena berdasarkan
pengalamannya pekerja dapat mengatur kecepatan kerjanya sedemikian rupa,
sehingga lambatnya gerakan-gerakan kerja ditunjukan untuk menghilangkan rasa fatique ini (Sutalaksana,2005).
3. Kelonggaran untuk hambatan-hambatan tak
terhindarkan.
Melaksanakan pekerjaanya, pekerja tidak
akan lepas dari berbagai hambatan. Ada hambatan yang dapat dihindarkan seperti
mengobrol yang berlebihan dan menganggur dengan sengaja yang tidak dapat
dihindarkan karena berada diluar kekuasaan pekerja untuk mengendalikannya. Bagi
hambatan yang pertama jelas tidak ada pilihan selain menghilangkannya,
sedangkan bagi hambatan yang terakhir walaupun harus diusahakan serendah
mungkin, hambatan akan tetap ada dan karenanya harus diperhitungkan dalam
perhitungan waktu baku. Beberapa contoh
yang termasuk kedalam hambatan tak terhindarkan adalah(ainul@staff.gunadarma.ac.id,2014):
1. Menerima atau meminta petunjuk kepada
pengawas.
2. Melakukan penyesuaian-penyesuaian mesin.
3. Memperbaiki kemacetan-kemacetan singkat
seperti mengganti alat potong yang patah, memasang kembali ban yang lepas dan
sebagainya.
4. Memasang peralatan potong.
5. Mengambil alat-alat atau bahan-bahan khusus dari gudang.
Read Users' Comments (0)